Jakarta– Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) menyelenggarakan Sosialisasi dan FGD RUU Kesehatan pada Rabu (29/3/2023). Tujuan kegiatan ini adalah untuk menginfokan posisi pemerintah terhadap draft rancangan undang-undang dari DPR. Ini juga merupakan tindak lanjut dari Public Hearing Rancangan Undang-Undang yang telah dilaksanakan pada minggu kedua bulan Maret lalu. Topik yang diangkat untuk sesi kali ini adalah “Transformasi Kesehatan untuk Meningkatkan Layanan Kesehatan keMasyarakat”.
Kepala BKPK Syarifah Liza Munira menjelaskan perlunya layanan kesehatan diperjuangkan. Menurut Liza setelah 77 tahun Indonesia merdeka hingga hari ini, mayoritas masyarakat masih belum memiliki akses kesehatan yang memadai. Oleh karena itu dirasa perlu untuk melakukan perubahan terhadap UU Kesehatan sehingga dapat memenuhi hak warga negara terhadap akses kesehatan.
Lebih lanjut Liza menerangkan Kementerian Kesehatan telah menginisiasi 6 pilar transformasi kesehatan agar hak masyarakat terhadap kesehatan dapat terpenuhi. Enam transformasi kesehatan ini meliputi: Transformasi layanan primer, Transformasi layanan rujukan, Transformasi sistem ketahanan kesehatan, Transformasi sistem pembiayaan kesehatan, Transformasi SDM Kesehatan, dan Transformasi teknologi kesehatan. Transformasi kesehatan ini memerlukan regulasi yang mendukung. Pemerintah harus memiliki wewenang untuk menjalankannya.
“Kita tidak mungkin menjalankan ini tanpa adanya wewenang dan regulasi yang mengatur dengan jelas”, ujar Liza.
Sosialisasi dan FGD RUU Kesehatan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat dan stakeholder terkait untuk menyuarakan pendapatnya. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan rancangan undang-undang ini. Harapan pemerintah adalah untuk mengidentifikasi transformasi kesehatan agar 6 pilar tersebut dapat dicapai.
Mengawali diskusi, Liza menjabarkan poin-poin upaya yang ingin diwujudkan dalam RUU Kesehatan yaitu menciptakan layanan kesehatan yang berfokus pada upaya untuk mencegah orang sehat menjadi sakit, mempermudah masyarakat mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas, meningkatkan kemandirian dalam memproduksi sediaan farmasi (seperti obat) dan alat kesehatan, mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi krisis kesehatan di masa kini dan yang akan datang, meningkatkan efisiensi pembiayaan kesehatan, meningkatkan produksi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang berkualitas, serta mewujudkan digitalisasi sistem kesehatan dan inovasi teknologi kesehatan.
Menanggapi poin transformasi layanan primer, yaitu puskemas harus lebih fokus dan konkret kedepannya, Prof. Ascobat Ghani menyampaikan pendapatnya bahwa ada dua strategi untuk hal ini. Pertama dengan mengembangkan primary healthcare, dan yang kedua mengembangkan SKN. Primary health care adalah akses pertama yang bisa digunakan oleh penduduk, untuk jaringan puskesmas dilakukan dengan membangun posyandu, puskesmas keliling, puskesmas pembantu dan bidan di desa. Namun puskesmas keliling kurang dijelaskan dalam UU ini.
Menurut Prof. Ascobat, posyandu bukan bawahan puskesmas tetapi mitra puskesmas, bagaimana mendekatkan konsep posyandu prima. Puskesmas pembina kesehatan wilayah, bukan hanya menyehatkan masyarakat tetapi juga menyehatkan wilayah. Konsep kewilayahan ini kurang ditekankan dalam RUU.
Merespon pertanyaan dari Prof. Ascobat Ghani, Liza menjelaskan bahwa Puskesmas melaksanakan puskesmas promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif tambahan paliatif. Bahwa konsep yang harus dimasukkan kesehatan kewilayahan bukan dikotomi antara promotif dan kuratif. Selama ini memang lebih ke kuratif sehingga pemerintah mendorong agar promotif dan preventif semakin baik mudah dekat dengan masyarakat, mencegah masyarakat sehat menjadi sakit dan pembiayaan kesehatan terkendali.
Dr. Anung Sugihantono yang ikut hadir dalam acara ini menyampaikan pendapatnya bahwa RUU ini bisa mencabut dan merevisi beberapa UU dan membuat regulasi baru. Konsekuensinya akan mempengaruhi pola pikir, bukan hanya menyusun DIM yang saat ini dalam tahap penyempurnaan. Apa yang ada di dalam perspektif transformasi kesehatan adalah cut off bukan platform UU bagian dari struktur peraturan perundangan yang disusun. Dr Anung menyarankan untuk mengemukakan strukturnya dahulu.
Menanggapi ini Liza menyampaikan bahwa RUU kesehatan omnibus law ini harapannya untuk menyinkronkan regulasi terkait kesehatan sehingga dapat mendukung transformasi kesehatan. Pandangan Anung adalah pasal Sistem Kesehatan Nasional (SKN), dapat dicermati bahwa SKN tertera dalam RUU Kesehatan. Harapannya, SKN akan menjadi dasar tata kelola SKN bagi pusat, daerah dan masyarakat sehingga tata kelolanya dapat diuraikan detail dalam peraturan perundangan dibawahnya. (Penulis Kurniatun K/Editor Dian Widiati)