Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat memberikan sambutan dan Opening Remarks pada acara Pertemuan Ilmiah Epidemiologi Internasional serta Penguatan Program Kekarantinaan Kesehatan, Selasa (23/8) di Bali mengatakan salah satu luaran yang diusulkan Indonesia dalam G20 yaitu harmonisasi dan digitalisasi protokol kesehatan agar pada pandemi berikutnya bisa melakukan protokol yang standar di seluruh dunia. “Ini memastikan bahwa program yang kita bangun bisa menahan masuknya patogen berbahaya tapi tidak menahan pergerakan manusia dan barang-barang yang esensial,” ungkap Menkes.
Standarisasi dan harmonisasi protokol kesehatan ini sudah berhasil mendapat persetujuan dari negara-negara G20 dan organisasi internasional untuk mengadopsi standar WHO dan diadopsikan secara digital dalam bentuk QR code agar bisa diadopsi seluruh negara agar informasi sertifikat vaksin bisa masuk dan diterima seluruh negara.
“Teknologi itu berkembang, kita bisa mempercepat dan bisa mempercanggih bagaimana kita melakukan surveilan. Jika dulu surveilan dilakukan dengan sertifikat vaksin kuning, sekarang surveilan bisa dilakukan secara online dengan apps. Sehingga info mengenai vaksin secara digital bisa disertifikasi masuk dan bisa direkognisi secara global,” terang Menkes Budi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa surveillans dan karantina menjadi sangat penting.
“Pentingnya itu di dua sisi,” ungkap Menkes. Satu sisi penting untuk kita secara dilligent and tight, ketat menjaga perbatasan agar patogen (virus dan bakteri) jangan sampai masuk dan menyebar ke Indonesia. Namun disisi lain, kita harus balance agar jangan sampai keketatan dalam melakukan lockdown and prevention mengakibatkan keterpurukan perekonomian, seperti terjadi di awal-awal masa pandemi.
Seperti kita ketahui pandemi yang lalu mengakibatkan perekonomian dunia berhenti dan menimbulkan permasalahan sosial dan politik di dunia, yang sama besarnya atau lebih besar dari masalah kesehatan dunia. Era pandemi ini mengakibatkan krisis ekonomi dunia terparah, menjadi krisis multidimensi yang dimulai dari krisis kesehatan tapi menyebabkan krisis ekonomi dan krisis sosial-politik.
Menkes Budi menghimbau agar para epidemiolog, surveyor dan yang bergerak di bidang kekarantinaan menyadari bahwa ada unsur multidimensi disini, bukan hanya satu dimensi sesuai tugas dan tanggung jawab pekerjaan saja. Jika tugas yang dilakukan hanya mencegah virus masuk tapi masyarakat kelaparan dan kesulitan mendapatkan obat maka akan terjadi krisis. Untuk itu, pandangan secara menyeluruh dan multidimensi diperlukan. “Selama ini dalam dalam melakukan tugas kita memang belum melakukan penyeimbangan,” jelas Menkes Budi.
Pertemuan Ilmiah Epidemiologi Internasional ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan dan kapasitas tenaga epidemiolog yang ada di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) yang ada di wilayah Indonesia sebagai bagian dari upaya penguatan ketahanan kesehatan bangsa.
Melalui kegiatan ini diharapkan dapat diperoleh gambaran perkembangan tatanan regulasi nasional maupun global dalam penanganan pandemi COVID-19 dan penguatan jejaring sistem epidemiologi di pintu masuk, wilayah, dan di tingkat global. Juga dapat diperoleh gambaran penyelenggaraan pengawasan dan respon kekarantinaan kesehatan pada penyelenggaraan event internationalseperti G20 dan even olahraga internasional (seperti MotoGP – World Super Bike Mandalika).
Pertemuan ilmiah epidemiologi internasional serta penguatan kekarantinaan kesehatan pada penyelenggaraan event internasional ini merupakan kolaborasi kegiatan antara Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) dengan Direktorat Surveilans dan Kekarantinaan Kesehatan Ditjen P2P Kementerian Kesehatan dan World Health Organization (WHO) Indonesia.
Kegiatan ini dihadiri oleh 120 peserta dari KKP dan BBTKL-PP se-Indonesia, perwakilan Dinas Kesehatan, perwakilan Kementerian/Lembaga, dan juga perwakilan cabang PAEI (provinsi), serta puluhan peserta lainnya yang mengikuti secara daring.
(Penulis Kurniatun K/Editor Fachrudin Ali)