Jakarta– Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) melalui Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) mengadakan pertemuan pembahasan penyusunan patogen prioritas berpotensi menimbulkan pandemik pada 26-28 Oktober 2023 di Jakarta secara hibrid. Kemenkes berkomitmen dalam menginisiasi untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan patogen yang memiliki potensi menyebabkan pandemi, serta membangun kerjasama yang erat antara pemerintah dan para pakar dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini akan membantu dalam pengembangan strategi pencegahan, deteksi dini, dan respon yang efektif terhadap ancaman pandemi.
Pada pertemuan ini, Kepala BKPK Syarifah Liza Munira menyampaikan perlunya kewaspadaan dan kesiapsiagaan agar tidak terjadi lagi pandemi. Untuk itu perlu mendapatkan rumusan untuk menentukan metode menyusun daftar patogen proritas yang berpotensi menimbulkan pandemi.
Pertemuan melibatkan para pakar dari berbagai disiplin ilmu, termasuk virologi, mikrobiologi, parasitologi, dan mikologi. Kolaborasi ini diharapkan dapat menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang patogen prioritas dan mekanisme penularannya, serta mengidentifikasi intervensi yang efektif untuk mengurangi risiko pandemi di masa depan.
Masing-masing pakar dari berbagai disiplin ilmu menyampaikan patogen-patogen yang berpotensi high risk menimbulkan ancaman, baik kepada manusia maupun hewan. Disinggung juga terjadinya climate change dan interaksi antara manusia dan satwa liar mempengaruhi juga terjadinya patogen yang berpotensi pandemi. Selain itu, diperlukan juga surveilans terkait patogen secara rutin dengan tujuan untuk mengendalikan terjadinya pandemi menjadi penting.
Para pakar virus menyepakati bahwa selama satu abad terakhir, pandemic disebabkan oleh setidaknya hanya 5 famili virus, mencakup coronaviridae (contohnya SARSCOV-2), flaviviridae (dengue, zika), orthomixoviridae (influenza), paramixoviridae (virus Nipah, virus hendra), togaviriade (Chikungunya). Lima famili virus ini yang perlu dipantau baik pada manusia maupun pada hewan. Kemungkinan adanya patogen yang sangat baru (disease X), mungkin rendah namun tetap harus diantisipasi. Salah satu metode penemuan disease X ini adalah dengan metode genomic surveilan dan juga secara discovery melalui metagenomic.
Selain diskusi dengan para pakar, perwakilan dari WHO SEARO menyampaikan pengalaman beberapa negara dalam penentuan prioritas patogen seperti Bangladesh, Jepang dan Nepal. Dijelaskan bahwa bagaimana tahapan dalam penentuan patogen prioritas, beberapa metode yang digunakan dalam penentuan patogen. Diantaranya dengan menggunakan Strategic Toolkits for Assessing Risks (STAR). Disamping itu, disampaikan juga bahwa pendapat dari para ahli adalah sumber informasi yang penting, dan proses penentuan patogen prioritas harus transparan. Komposisi para ahli harus mencerminkan tujuan dan ruang lingkup pelaksanaan penentuan prioritas.
Dibidang parasitologi, potensi keparahan akibat parasit terbesar adalah malaria (plasmodium). Meskipun cakupan malaria makin mengecil secara global, Indonesia masih menjadi wilayah endemik malaria, dimana Mimika dan Kota Jayapura, merupakan lokasi terbesar infeksi malaria nomor dua didunia setelah Afrika.
Ditengah upaya penanganan malaria, dunia dihadapkan ancaman zoonotic malaria (plasmodium knowlesi) yang menginfeksi primata. Indonesia sendiri merupakan negara dengan populasi primata terbesar ketiga didunia setelah Brazil dan Madagaskar. Selain malaria, toksoplasma juga menjadi ancaman tersembunyi. Tidak sedikit kecacatan pada bayi yang disebabkan infeksi toksoplasma yang tidak disadari. Salah satu sumber penularan toksoplasma berasal dari kucing liar.
Prof Retno Wahyuni (Universitas Kristen Indonesia) menjelaskan bahwa selain virus, bakteri dan parasit, jamur/fungi juga harus diwaspadai menimbulkan keparahan penyakit, walau risiko pandemik masih dianggap rendah. Anggota Kelompok Penasihat (Advisory Group) WHO dalam bidang fungi ini juga menjelaskan bahwa dari semua daftar fungi patogen prioritas kelompok kritikal dan high group yang dikeluarkan WHO pada 2022, hampir semua ada di Indonesia dan masih belum ada data epidemiologi dari infeksi jamur di Indonesia.
Selain itu infeksi jamur zoonotic yang menjadi patogen berasal dari kotoran atau air liur hewan, seperti burung, kelelawar, anjing, kucing, dan lain-lain merupakan patogen yang berbahaya menimbulkan penyakit pada manusia. Prof Agustin (Institut Pertanian Bogor) menjelaskan ada 3 (tiga) kriteria jamur patogen yaitu critical group, high grup dan medium grup. Pada critical group terdapat 4 (jamur) patogen yaitu cryptococcus neoformans, candida auris, aspergillus fumigotus dan candida albicans.
Pertemuan ini mengundang para pakar dan peserta yang berasal dari akademisi (UI, IPB, UGM, UNPAD, UKI), Kementerian (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) dan World Health Organization (WHO). (Penulis Sugiharti/Pusjak KGTK)