Jakarta–Salah satu tugas Komite Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional (KEPPKN) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yakni melakukan akreditasi terhadap Komite/Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2020 tentang KEPPKN yang menyatakan bahwa KEPK wajib terakreditasi dan akreditasi hanya dapat dilakukan oleh Kemenkes.
Untuk melakukan akreditasi, KEPPKN telah menyusun panduan akreditasi KEPK. Namun KEPPKN tidak bisa bekerja sendiri. Dalam pelaksanaannya, akreditasi KEPKN memerlukan kehadiran asesor untuk melakukan penilaian lapangan terhadap KEPK-KEPK yang ada.
Demikian disampaikan Ondri Dwi Sampurno mewakili Ketua KEPPKN Masa Bakti 2021-2024 ketika membuka kegiatan Pelatihan Asesor Akreditasi KEPK pada Rabu (13/9) di Jakarta. Acara yang dilakukan secara hybrid ini dihadiri oleh sebanyak 60 calon asesor. 20 calon asesor hadir secara luring berasal dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung dan Tasikmalaya. Sebanyak 40 calon asesor hadir secara daring dari luar Jabodetabek.
“Dengan adanya peraturan ini, menjadi kewajiban bagi KEPK untuk mengajukan akreditasi. Sejauh ini sudah 200 lebih KEPK yang ter-registrasi dalam SIM EPK KEPPKN dan beberapa diantaranya telah mengajukan akreditasi ke KEPPKN,” ungkap Ondri.
Lebih lanjut Ondri menjelaskan bahwa akreditasi KEPK dilakukan melalui asesmen lapangan langsung oleh asesor, yang dikoordinasikan oleh sub komite akreditasi KEPPKN. Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan asesmen lapangan, maka para asesor diberikan pelatihan.
“Pelatihan ini wajib. Tujuannya untuk bisa memberi pemahaman terkait aspek-aspek apa yang akan dinilai pada saat penilaian lapangan. Yang belum mengikuti pelatihan tidak akan diikutkan dalam penilaian akreditasi KEPK,” terang Ondri.
Dijelaskan lebih lanjut, pelatihan asesor yang sekarang ini adalah pelatihan asesor gelombang kedua. Pelatihan asesor gelombang pertama sudah dilakukan pada bulan Agustus tahun lalu. Sebelumnya, KEPPKN telah melakukan sosialisasi borang akreditasi dan membuka pendaftaran untuk menjadi asesor.
Sebanyak 26 asesor ikut serta dalam pelatihan gelombang pertama. Jika ditambah dengan 57 asesor pada pelatihan gelombang kedua maka jumlahnya menjadi 83 asesor. Jumlah ini dirasa masih kurang. Ini karena dalam setiap penilian akreditasi dibutuhkan 3 asesor.
Pada pelatihan asesor gelombang pertama telah dipilih beberapa asesor untuk melakukan ujicoba pada empat KEPK terpilih. Empat KEPK tersebut adalah KEPK RS dr. Soetomo, KEPK Universitas Padjajaran, KEPK FKKMK Universitas Gajah Mada, dan KEPK Politeknik Kesehatan Kemenkes Tasikmalaya. Pada kesempatan ini keempat KEPK tersebut diberikan sertifikat karena telah melakukan koreksi atas masukan-masukan yang diberikan oleh asesor.
Sebelum seremoni penyerahan sertifikat akreditasi, Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kemenkes, Syarifah Liza Munira menyampaikan harapannya untuk kegiatan ini.
“Melalui pelatihan ini saya berharap asesor mendapat pemahaman yang sama mengenai standar dan kualitas yang dibutuhkan. Bila ada gap bagaimana caranya agar gap ini dihilangkan. Karena poinnya disini adalah untuk memastikan standar yang sama,” terang Liza.
Liza mengatakan agar proses yang sudah dilakukan ini, nantinya ada evaluasi untuk menjaga standar kualitas ethical clearance di Indonesia. Dikatakan Liza bahwa ada beberapa prinsip yang perlu dijaga, yaitu clear, harus jelas dan tegas, kemudian transparansi dan netralitas. (Penulis Kurniatun K/Editor Timker KLI)