Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (BKPK Kemenkes RI) Syarifah Liza Munira menginventarisasi sejumlah daftar masukan terkait draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dari para stakeholders pada Kamis (16/3) di Jakarta terkait Tata Kelola Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pembahasan aspirasi publik ini dilakukan melalui kegiatan Public Hearing yang dilaksanakan sebagai bagian dari proses partisipasi publik yang bermakna. Acara berlangsung secara hybrid.
Dalam kegiatan ini Liza berharap mendapat masukan ataupun input sebaik-baiknya dan spesifik mengenai draf RUU Kesehatan. Hal itu agar regulasi yang menjadi inisiatif DPR ini dapat dipahami dan dikritisi bersama untuk menjadi masukan yang akan disampaikan pemerintah kepada DPR.
Lebih lanjut, Liza menerangkan RUU Kesehatan mencabut sembilan undang-undang dan mengubah empat undang-undang yang ada. Dalam proses pembuatannya melibatkan dan mengharmonisasikan dengan undang-undang lainnya yang terkait.
“Kita perhatikan undang-undang kesehatan yang ada dari tahun 2009 sebelum BPJS melaksanakan JKN di tahun 2014 dan setelah berjalannya JKN melalui BPJS. Banyak peraturan dan regulasi yang diterbitkan untuk mendukung pelayanan JKN yang baik,” kata Liza.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Ascobat Gani menyampaikan pandangannya terkait prinsip-prinsip pertanggungjawaban pendanaan kesehatan yang ada di dalam draf RUU Kesehatan.
Prof. Ascobat menyampaikan menurut Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dana jaminan sosial dibuat dalam prinsip social insurance yaitu trust fund atau dana amanah karena sifat JKN kompulsif atau bersifat wajib.
“Sifat JKN ini kompulsif, wajib bagi seluruh masyarakat. Bagi peserta miskin yang tidak sanggup membayar premi, maka dibayarkan pemerintah. Dana yang telah dibayarkan menjadi milik peserta dan dipertanggungjawabkan kepada presiden sebagai orang yang diberi mandat oleh rakyat,” ungkap Prof. Ascobat.
Namun, kata Prof. Ascobat, JKN ini bukan hanya dilihat dari sisi uang, tetapi juga sisi suplai. Oleh karena itu, Prof. Ascobat menyarankan pihak yang bertanggung jawab terhadap ketersediaan pelayanan itu adalah pemerintah pusat dan daerah yang harus dipertanggungjawabkan kepada presiden.
Menurutnya, substansi tanggung jawab Kementerian Kesehatan dan BPJS itu berbeda. Namun, diantara keduanya ada yang bersifat interface atau bersama-sama, seperti besaran iuran dan standar dari tenaga kesehatan.
“Ada wilayah yang dipertanggungjawabkan bersama-sama kepada presiden. Jadi, ada muncul eksklusif responsibility, ada interface. Sehingga jelas apa yang dipertanggungjawabkan, siapa yang bertanggung jawab, kepada siapa dipertanggungjawabkan,” jelas Prof. Ascobat.
BKPK masih akan terus menghimpun masukan dan aspirasi dari masyarakat seluas-luasnya. Bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi dapat menyampaikan input langsung melalui kegiatan public hearing yang disiarkan secara langsung di youtube Kementerian Kesehatan RI atau disampaikan melalui laman https://partisipasisehat.kemkes.go.id/.
(Penulis Ripsidasiona/Editor Fachrudin Ali)