Jakarta – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) melakukan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) untuk mendapatkan gambaran status gizi balita pada tahun 2022. SSGI adalah survei yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia di 33 Provinsi, 486 Kabupaten/Kota. SSGI dilakukan dengan metode survei agar bisa menunjukkan hasil yang representatif atau mewakili kondisi di Indonesia.
Demikian disampaikan Kepala BKPK Syarifah Liza Munira pada Sosialisasi Kebijakan Intervensi Percepatan Penurunan Stunting Tahun 2023, Jumat (3/2) melalui virtual. Liza mengatakan SSGI merupakan amanah kepada Kemenkes untuk mengukur angka prevalensi stunting supaya dapat mempercepat penurunan prevalensi stunting di Indonesia.
“Angka stunting sudah turun dari 24,4% menjadi 21.6%, untuk mencapai target 14% di tahun 2024 seperti dicanangkan dalam RPJMN, diperlukan penurunan 3,8% pertahun,” terang Liza.
Secara umum disampaikan Liza, SSGI mengukur 4 indikator yaitu stunting, wasting, underweight, dan overweight. Hasil menunjukkan ada sedikit kenaikan pada wasting dan underweight. Penurunan overweight sebesar 0,3%. Disampaikan pula, terjadi penurunan proporsi stunting terbesar di 3 Provinsi yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Sumatera Selatan.
Liza mengatakan hasil SSGI ini bukanlah sebagai rapor daerah namun sebagai upaya bersama untuk menurunkan stunting. “Kita ingin angka SSGI menjadi upaya kita bersama sebagai acuan untuk menurunkan angka stunting sampai 2024 dan seterusnya,” ujarnya.
Selanjutnya Liza memaparkan angka prevalensi stunting secara nasional perkelompok umur. Ia mengungkapkan telah terjadi stunting pada bayi baru lahir, kelompok usia 0 – 6 bulan, 6 – 11 bulan dan 12 – 23 bulan. Kondisi ini dapat dicegah, sehingga ada 2 titik penting yang perlu di intervensi sebagai upaya agar terjadi daya ungkit besar. Titik pertama yaitu fase sebelum kelahiran, yakni dengan melakukan intervensi pencegahan anemia pada remaja putri dan ibu hamil. Karena telah terjadi prevalensi stunting pada bayi baru lahir sebesar 18,5% sebagai akibat kurang gizi pada masa kehamilan.
Kemudian titik kedua adalah pada fase sesudah kelahiran, utamanya pada kelompok umur antara 6-11 bulan dan 12-23 bulan. Pada kelompok umur tersebut, terjadi lonjakan peningkatan stunting lebih dari 1,6 kali yaitu 13,7% pada umur 6-11 bulan dan 22,4% pada umur 12-24 bulan. Pada kelompok usia tersebut, intervensi yang penting adalah pemberian ASI eksklusif, pemberian MPASI, dan memperhatikan timbangan anak.
Lebih lanjut, Liza menyampaikan gambaran stunting Kabupaten Gowa pada kelompok umur. Di Kabupaten Gowa, terjadi lonjakan pada usia 6-11 bulan ke 12-23 bulan yaitu 1,6 kali lonjakan di usia tersebut. “Kabupaten Gowa angka prevalensi stuntingnya di SSGI 2021 ke 2022 kurang lebih sama di 33%, tetapi ini kalo di breakdown secara umum ada pola yang sama dengan nasional,” ungkap Liza.
Liza menjelaskan jumlah anak stunting pada 2021 di Kabupaten Gowa pada usia 0-11 bulan ada 1.425 anak, sedangkan kelompok usia 12-23 bulan ada 3.869 anak. Namun dibandingkan dengan jumlah anak stunting di 2022, ternyata sebagian besar angka stunting ini meningkat. Kelompok umur 48-59 bulan, anak-anak yang sudah stunting dan sudah di intervensi terdapat penurunan sebesar 35%.
Jadi ada penurunan tapi tidak masif, bila dibandingkan dengan kenaikan-kenaikan pada anak-anak yang lahir di 2022 dalam kelompok umur 0-11 bulan. Ada kenaikan prevalensi stunting untuk Kabupaten Gowa, 2 kali lipat di kelompok umur 12-23 bulan. Bahkan sampai kalau dihitung presentasinya 1,6 kali yaitu 196%. “Kalau breakdown umur ini, betapa pentingnya intervensi program ditujukan secara intensif di 2 grup tersebut,” ujarnya.
Menurut Liza, setiap Kabupaten/Kota pada dasarnya mempunyai kondisi yang secara spesifik perlu adanya strategi pada 2 fase penting, agar daya ungkit penurunan stuntingnya besar. Ia mengatakan intervensi stunting lebih efektif dengan upaya pencegahan dibandingkan intervensi yang dilakukan saat anak sudah menjadi stunting. “Untuk mencegah stunting tentunya sedini mungkin. Ketika anak itu timbangannya tidak meningkat atau tidak naik (weight faltering), untuk segera dirujuk ke Puskesmas,” pesan Liza
Lebih lanjut Liza mengungkapkan pada intervensi ibu hamil, ada penurunan dalam hal mendapatkan tablet tambah darah. Namun, yang diminum tablet tambah darah belum sebesar yang mendapatkannya tablet tersebut. Sementara ibu hamil yang mendapatkan Antenatal Care (ANC) sebanyak 4 kali prevalensinya adalah 70%, tapi hanya 26,1% ibu hamil yang melakukan ANC sebanyak 6 kali. Hal yang menarik pula, terjadinya peningkatan inisiasi menyusu dini (IMD) sebesar 57,9%, dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada ibu hamil mencapai 23,2%.
Pada determinan di bawah usia 6 bulan, anak-anak tersebut ada kenaikan dalam hal pemberian IMD. Ketika ditanya apakah anak yang diberi ASI atau tidak, terjadi peningkatan pengakuan pemberian ASI dari 58,2% (tahun 2021) menjadi 96,7% (tahun 2022), pemberian susu formula meningkat 36,50% menjadi 41,9%. Sedangkan infeksi karena ISPA ditemukan dari 13,9% menjadi 14,4%, dan diare ada penurunan dari 5% menjadi 4,2%.
Pada bayi usia 6-11 bulan yang diberi ASI meningkat 73,5% (tahun 2021) menjadi 96,4% (tahun 2022). Namun pemberian ASI eksklusif ternyata menurun pada tahun 2021 sebesar 48,2% menjadi 16,7 % (tahun 2022).
“Harapan Kami, melalui data-data ini Dinas Kesehatan dapat berdialog dengan Poltekes dan para pakar di daerah masing-masing untuk melihat bagaimana cara terbaik untuk bisa melakukan intervensi program di 2 fase pertama,” tutupnya. (Penulis Faza Wulandari/Editor Fachrudin Ali)